Minggu, 07 April 2013

Juara Yang Tak Bisa Tertawa



Cuaca yang tidak cerah pada week end ini menjadikan Mata Kamera tidak semangat untuk berkelana mencari obyek-obyek yang menarik. Namun demikian saat matahari sedikit bersinar di hari Minggu pagi memberikan sebersit harapan akan ada obyek yang menarik yaitu munculnya sinar matahari yang menembus diantara pepohonan (ROL=Ray of Light) dan embun pagi di pucuk-pucuk daun yang pasti menjadi sasaran yang sangat menarik. Kutancapkan lensa 28 mm f2.8 yang bisa makro pada body Nikon D7000 untuk menangkap obyek yang sudah kubayangkan dan untuk persiapan menangkap obyek jarak jauh yang mungkin ditemui pada saat perjalanan maka kupersiapkan juga lensa Nikon 70 - 300 mm. Perlengkapan fotografi sudah siap, selanjutnya mempersiapkan tunggangan yang biasa menemani Mata Kamera menyusuri obyek-obyek menarik yaitu Marin Mountin Bike.

Karena tujuan semula hanya mencari obyek sinar matahari dan embun pagi, maka Mata Kamera menuju taman Ganesha di lingkungan ITB namun tidak menemukan obyek tersebut karena matahari sudah mulai tertutup awan lagi. Perjalanan dilanjutkan ke sekitar SABUGA, namun juga tidak menemukan obyek yang menarik. Keluar dari halaman Sabuga terlihat ada mobil pickup membawa beberapa domba yang sepertinya mau menuju gelanggang adu domba di Babakan Siliwangi, tanpa pikir panjang kukayuh pedal Marin menuju gelanggang di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi. Sampai di gelanggang suasana masih sepi baru ada beberapa domba yang sudah diikat di patok-patok yang sudah disediakan. Sambil menunggu acara dimulai Mata Kamera mencari sasaran seperti wajah-wajah domba yang siap tanding, tingkah laku anak-anak dan suasana arena sebelum pertandingan.




 
Sekitar pukul 09.00 acara  dimulai, para pemilik domba mula-mula datang melaporkan ke Panitia untuk mendaftarkan dombanya kemudian mendapatkan nomor. Selanjutnya panitia mengumumkan siapa yang akan menjadi juri dan wasit. Sekitar lebih dari 50 domba yang akan berlaga di gelanggang, domba-domba yang sangat terawat terlihat gagah dengan asesori kalung yang menggantung di lehernya. Tidak mau kalah gagahnya dengan sang domba, para pemiliknya juga mengenakan pakaian warna hitam dengan ikat kepala khas sunda atau memakai topi khas cowboy.



Pertandingan adu domba dimulai, panitia memanggil dua nama domba yang akan bertanding, nama domba itupun gagah-gagah juga seperti halilintar, petir, geledek, bintang dsb. Suara musik khas sunda mulai terdengar mengiringi pertandingan adu domba, dua kepala domba mulai beradu menimbulkan suara yang tidak enak didengar bagaikan dua tempurung kelapa diadu , seperti tidak merasakan sakit setelah berbenturan kedua domba mengambil ancang-ancang yang semakin jauh, lari sekencangnya setelah dekat dengan lawan masing-masing domba seperti melompat untuk beradu kepala suara tidak enak kembali terdengar… begitu seterusnya sampai beberapa puluh kali. Para penonton dewasa maupun anak-anak sepertinya sudah terbiasa dengan suara tidak enak tersebut, beberapa anak kecil dan anak-anak remaja bahkan menari-nari mengikuti irama kendang dan seruling yang terus berkumandang selama adu domba berlangsung.








Sekilas adu domba ini terlihat sadis, tapi adu domba ini tetap berlangsung bahkan mendapatkan izin dan menjadi komoditas wisata di Jawa Barat. Ceunah (katanya) dengan melestarikan tradisi adu domba ini maka dapat mendorong semangat untuk beternak domba karena domba-domba yang telah memperoleh titel juara pasti memiliki harga yang sangat mahal sehingga para peternak saling berlomba untuk memelihara dombanya dengan serius.

Terus terang sebenarnya saya nggak terlalu kuat untuk menatap domba beradu melalui Mata Kamera, karena seperti pengalaman sebelumnya waktu pertama kali nonton adu domba sepertinya sakit kepalanya domba berpindah ke kepala saya sehingga di arena tersebut Mata Kamera nggak selalu mengarah ke domba yang bertanding tetapi sering Mata Kamera menatap tingkah laku anak-anak yang ikut menonton adu domba tersebut atau menatap para pemilik domba yang memperhatikan dengan serius domba-domba  yang sedang beradu keras kepala.




Pertandingan adu domba ini sepertinya sangat digemari masyarakat, hal ini terlihat dengan banyaknya penonton yang datang dan jumlah domba-domba yang dihadirkan dari berbagai penjuru di Jawa Barat untuk ikut berlaga di gelanggang tersebut.

 

Sekitar pukul 10.30 Mata Kamera mengakhiri petualangannya, namun sebelum bener-bener masuk ke dalam tas Mata Kamera masih sempat menatap dan membidik bapak penjual wayang golek yang sedang menikmati gorengan…



Catatan :
1.                  Untuk mengabadikan obyek bergerak seperti adu domba ini, dipergunakan lensa zoom 70 -300 dengan speed diatas 1/70 bahkan 1/300. untuk mendapat speed tersebut dengan cuaca yang tidak begitu cerah maka harus menggunakan ISO di atas 500.
2.                  Selain menggunakan lensa zoom, saya pergunakan juga lensa fix 28 mm dengan apperture f 8 atau f.11 untuk membidik arena yang luas dan diafragma 2.8 untuk membidik focus tertentu..
3.                  Agak sedikit kecewa, karena lensa kogaku tidak ikut hadir, padahal pada acara semacam itu banyak wajah-wajah menarik (wajah domba, wajah penjual gorengan, wajah penonton, dll ) yang dapat ditangkap dengan detail oleh Mata Kamera.

Hikmah :
Kebahagiaan pemilik domba karena domba andalannya juara, tidak menjadikan sang domba juga ikut bahagia.... kalau bahagia pasti sang domba juga ikut tertawa dan menari nari...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar