Rabu, 26 November 2014

Catatan Perjalanan di Tanoh Rencong



Masjid Baiturrahman Banda Aceh

Banda Aceh... kota di ujung barat pulau Sumatera tepatnya di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal dengan julukan Serambi Mekah dan Tanah Rencong memiliki bahasa. budaya dan adat istiadat yang unik serta memiliki alam yang indah terutama pantai yang menawan, sangat menarik  bagi Mata Kamera untuk merekam keunikan dan keindahan alam Tanah Rencong.

Perjalanan ke Banda Aceh mudah ditempuh dari berbagai kota karena Banda Aceh memiliki Bandara Internasional yaitu Bandara Sultan Iskandarmuda.. Rute penerbangan dari Bandung dan Jakarta (transit Bandara Kualanamu Medan) dilayani oleh beberapa maskapai penerbangan. Transportasi darat dari Medan ke Banda Aceh juga tersedia yang dilayani oleh bus maupun mobil travel. Kemudahan sarana transportasi ini seharusnya mampu mendongkrak angka kunjungan wisata ke Banda Aceh.

Kesan pertama saat tiba di Bandara Sultan Iskandarmuda dan perjalanan dari bandara menuju kota Banda Aceh adalah kota Banda Aceh memiliki pertumbuhan dalam pembangunan sarana kota seperti jalan dan jembatan yang semakin baik terutama pembangunan setelah terjadinya peristiwa Tsunami 26 Desember 2004 yang memporakporandakan kota Banda Aceh dan sekitarnya. Kini.. jalan-jalan dan jembatan sudah dibangun kembali bahkan lebih lebar dan lebih bagus  dibandingkan sebelum terjadi tsunami, gedung-gedung baru dan taman juga banyak dibangun, pusat-pusat perbelanjaan juga banyak berdiri.

Alhamdulillah, peristiwa tsunami dan recovery infrastruktur Aceh tidak merusakkan ciri khas Aceh baik bangunan-bangunan bernilai sejarah, keindahan alam maupun adat istiadat dan budayanya. Masih bisa kami lihat Masjid Raya Baiturrahman yang begitu megah, Masjid Baiturrahim yang tetap berdiri kokoh meskipun terkena hantaman Tsunami (padahal jaraknya hanya beberapa meter dari Pantai Uleelheue... subhanallah), Gunungan, pertokoan lama, dan masih banyak bangunan lain yang masih berdiri megah. Masih dapat kami lihat banyaknya warung kopi, penjual bu guri, penjual bu si itik, penjual bu goreng, penjual mie goreng dan penjual makanan yang lain. Masih dapat kami lihat juga pemandangan alam pantai yang indah. Masih dapat juga kami lihat budaya seperti tarian aceh. Masih dapat juga kami lihat adat istiadat aceh pada saat acara perkawinan.

Jum’at 6 November 2014 adalah hari pertama kami mengajak Mata Kamera jalan-jalan untuk menangkap keindahan dan keunikan kota Banda Aceh. Berjalan kaki dari hotel Medan menuju Peunayong, disitu terdapat pasar tradisional dan jembatan Krueng Aceh. Dari atas jembatan Krueng Aceh Mata Kamera mulai beraksi menangkap keindahan sungai (krueng) dimana banyak kapal-kapal nelayan bersandar. Warna-warni dan deretan kapal nelayan dengan latar belakang Masjid menjadi obyek yang sangat menarik.
Jembatan Peunayong
Pemandangan Krueng Aceh
Pemandangan Krueng Aceh
Kapal Nelayan berlabuh di Krueng Aceh



Pemandangan Krueng Aceh


Setelah puas memotret dari atas jembatan, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri bantaran Krueng Aceh, kali ini terlihat gedung Bank Indonesia yang megah pantas untuk menjadi bidikan Mata Kamera. Ada peristiwa yang mengagetkan saat persiapan hendak motret gedung Bank Indonesia yaitu sempat terasa adanya gempa beberapa kali, bagi kami cukup mengagetkan tapi bagi warga Banda Aceh saat itu sepertinya biasa saja karena mungkin mereka sering menghadapi peristiwa seperti itu, memang di Bumi Serambi Mekah ini peristiwa gempa relatif sering terjadi. Setelah memeotret gedung Bank Indonesia, kembali kami lanjutkan perjalanan melalui bantaran sungai tetapi sekitar lima menit perjalanan ada peristiwa lain yaitu turun hujan terpaksa kami berlari mencari tempat teduh. Dari tempat berteduh sempat juga kami lihat pemandangan Krueng Aceh yang cukup bagus.

Masjid Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman Banda Acceh
Hujan reda perjalanan kami lanjutkan ke halaman Masjid Raya Baiturrahman masjid kebanggaan masyarakat Aceh. Pada saat peristiwa Tsunami masjid ini menjadi tempat perlindungan yang aman bagi warga Banda Aceh, karena meskipun di halaman masjid terjadi banjir besar yang bisa menghanyutkan mobil-mobil tetapi alhamdulillah Allah SWT memberikan perlindungan terhadap bangunan masjid ini dan orang-orang yang berlindung di dalam masjid.... Allahu Akbar.  Meskipun Mata Kamera belum puas memotret keindahan Masjid Baiturrahman namun harus harus segera diakhiri karena perlu persiapan untuk sholat jum’at.

Interior Masjid Raya Baiturrahman
Sungguh suatu kebahagiaan bisa sholat jum’at di Masjid Baiturrahman, suhu panas kota Banda Aceh tidak terasa ketika sudah masuk ke Masjid, Bangunan masjid yang indah dan suara alunan adzan yang merdu  menggetarkan qolbu yang selalu merindukan sang Kholiq.  Suara khotib yang tegas menyampaikan khutbah yang mengambil tema “Islam di negara yang penduduknya minoritas muslim” sangat menarik karena khotib mempunyai pengalaman tinggal cukup lama di benua Australia yang penduduknya mayoritas non muslim.

Berikut ini beberapa bidikan Mata Kamera yang menangkap keindahan dan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada saat siang dan malam.

Menara Masjid Baiturrahman

Pintu Gerbang Masjid Raya










Lhokmee
Selain Masjid Raya Baiturrahman, lokasi kedua yang ingin kami kunjungi adalah Lhokmee yaitu pantai yang belum pernah kami kunjungi meskipun beberapa tahun pernah tinggal di Aceh. Alhamdulillah keinginan tersebut terkabul berkat kebaikan sahabat lama yaitu pak Irwan Rahman yang sering kami panggil dengan nama panggil Abu yang bersedia mengantarkan kami ke Lhokmee. Rupanya bagi Abu, nama Lhokmee ternyata juga masih asing padahal Abu orang Aceh yang tinggal di Aceh berpuluh puluh tahun, sehingga untuk ke Lhokmee harus pake jurus “bertanya”. 

Pantai Lhok Mee letaknya di Desa Lamreh Dusun LhokMee Kab Aceh Besar sekitar 35  km dari Banda Aceh yaitu setelah melewati pelabuhan Malahayati. Dari Malahayati sekitar 5 km dengan  kondisi jalan cukup bagus melewati jalan perbukitan yang dikenal dengan nama BUKIT SUHARTO. Perjalanan dari Malahayati ke Pantai Lhokmee hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit, jalanan menanjak dan menurun  dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.





Subhanallah.. begitu sampai di pantai Lhokmee kami lihat pemandangan pantai yang berbeda dengan pantai-pantai lainnya, pasirnya putih dengan butiran seperti kristal dan di pinggir pantai agak ke tengah terdapat pohon-pohon yang sudah tua serta banyaknya tonggak akar-akar bakau. Agak disayangkan pada saat kami datang air laut baru surut, kami hanya bisa bayangkan keindahan pantai tersebut disaat air laut pasang tentu pemandangan akan lebih indah lagi karena pohon-pohon tersebut berada di tengah laut.

Pantai Lhokmee ini sepertinya masih alami dan belum dikelola dengan baik, hal ini terlihat pada saat masuk ke lokasi tidak ada loket pembayaran retribusi yang ada hanya beberapa anak muda yang minta uang seikhlasnya, letak warung-warung yang belum tertata, dan belum ada tempat parkir khusus.

Berikut ini beberapa gambaran keindahan pantai Lhokmee yang sempat ditangkap oleh Mata Kamera :








Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokmee dan sebaliknya Mata Kamera juga sempat membidik beberapa pemandangan indah karena perjalanan tersebut melewati pantai Ujung Batee. Berikut ini beberapa foto bidikan Mata Kamera di sepanjang perjalanan.






Pantai Ulee lheue
Pantai Ulee lheue ini adalah pantai yang berlokasi di Banda  Aceh, hanya sekitar 5 km dari pusat kota Banda Aceh. Kondisi pantai Ulee Lheue saat ini sangat jauh berbeda dengan kondisi pada saat sebelum terjadi tsunami, terjadi pembangunan besar-besaran di pantai ini karena bisa dimaklumi pantai Ulee Lheue termasuk yang mengalami kerusakan parah pada saat terjadinya tsunami, bisa dibayangkan PLTD apung yang sebelumnya terletak di pantai Ulee Lheue bisa terseret ke daratan kurang lebih 4 km dari pinggir pantai.

Sebelumnya kondisi pantai Ulee Lheue ini adalah pantai seperti kebanyakan dengan pasir hitam yang biasa dipakai mandi dan berenang, namun kini pinggir pantai sudah dibuat tanggul penahan ombak yang cukup tinggi dan panjang sehingga untuk mandi dan berenang hanya di tempat tertentu saja. Pantai Ulee Lheue kini juga menjadi pelabuhan penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang dan sebaliknya. Ada dua jenis kapal penyeberangan yaitu kapal cepat dan kapal ferry, kapal cepat hanya melayani penyebarangan khusus untuk penumpang (orang) sedangkan bila membawa mobil bisa mempergunakan kapal ferry. Waktu tempuh kapal cepat hanya sekitar 45 menit sedangkan untuk kapal ferry memerlukan waktu sekitar lebih dari 2 jam.

Senja di pantai Ulee Lheue biasanya saat yang menarik untuk nyantai, menikmati indahnya sunset sambil makan jagung bakar.  Meskipun hari itu cuaca kurang begitu cerah namun matahari masih terlihat, oleh karena itu kami berangkat mengadu keberuntungan ke Pantai Ulee Lheue mudah-mudahan saat matahari hendak terbenam memberikan pemandangan yang menarik. Alhamdulillah pada saat kami tiba matahari yang tadinya tertutup awan perlahan lahan terlihat meskipun tidak sempurna, awan kuning merah sudah mulai terlihat memberikan harapan adanya keberuntungan. Tidak mau ketinggalan moment maka dengan cepat pasang Mata Kamera untuk membidik moment yang sudah mulai tampak. Hanya beberapa frame yang sempat Mata Kamera bidik karena moment indah tersebut cepat berlalu karena matahari tertutup awan di ufuk barat. Setelah matahari tertutup awan Mata Kamerapun tetap mencari sasaran, ada kepiting unik yang sempat dibidik, kepiting tersebut badan berwarna hitam namun kakinya berwarna merah.



Saat matahari tertutup awan saatnya pula Mata Kamera harus mengakhiri tugasnya karena saat itu sudah ada warning dari kamera bahwa battery sudah kritis dan suara Muadzin juga sudah terdengar... segera kami kemasi peralatan dan kami tinggalkan lokasi. Dalam perjalanan menuju lokasi rupanya muncul godaan sehingga kami harus berhenti sejenak karena melihat awan merah yang memancar di lokasi sunset, tidak tahan godaan juga akhirnya kami turun dan berlari mencari posisi yang bagus untuk membidik awan merah tersebut, terpaksa dengan persediaan battery yang sudah kritis sempat terbidik beberapa frame. O ya masih ada cadangan kamera saku yang selalu bermanfaat disaat kritis, maka dengan kamera saku itu bisa diabadikan pemandangan indah itu walaupun dengan kualitas seadanya.



Masjid Baiturrahim
Setelah melakukan pemotretan kami segera bergegas menuju masjid karena kami berharap bisa sholat maghrib berjamaah di Masjid Baiturrahim yang fenomenal dan penuh kenangan semasa kami bertugas di Aceh beberapa tahun yang lalu. Alhamdulillah kami masih bisa ikut sholat berjamaah di masjid dengan para jamaah yang lain. Selesai sholat maghrib Mata Kamera kami ajak untuk mengabadikan keindahan dan kemegahan Masjid Baiturrahim meskipun hanya menggunakan Kamera Saku.

Saat terjadi tsunami banyak yang kagum dengan Masjid Raya Baiturrahim karena meskipun letaknya hanya beberapa meter dari pantai Ulee Lheue namun masjid ini selamat dari terjangan tsunami padahal bangunan lain yang lebih kuat dan letaknya lebih jauh dari garis pantai hancur luluh tidak berbekas termasuk rumah keluarga kami... semakin yakin bahwa Allah SWT yang melindungi.... Subhanallah... Allahuakbar.

Berikut ini beberapa foto Masjid Baiturrahim yang dibidik Mata Kamera sehabis sholat maghrib berjamaah. Sepertinya tidak ada yang berubah dengan kondisi pada saat sebelum tsunami, hanya perbaikan-perbaikan yang tidak merubah konstruksi utama yang dilakukan pasca tsunami.






Adat Istiadat & Budaya

Beruntung perjalanan Mata Kamera ke Banda Aceh kali ini selain cuaca yang cukup bagus (pada hari-hari sebelumnya Banda Aceh sering diguyur hujan) sehingga dapat leluasa pergi ke tempat-tempat menarik juga dapat menghadiri acara pernikahan & pesta perkawinan dan Festival Krueng Aceh yang diadakan setiap tahun.

Acara pernikahan di Banda Aceh sepertinya tidak jauh berbeda dengan acara pernikahan di tempat lain karena pelaksanaannya mengikuti ketentuan pernikahan secara islam. Namun yang membedakan adalah acara adat tradisional sebelum acara pernikahan (akad nikah). Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum pernikahan dilakukan yaitu tahap melamar (Ba Ranup) dan tahap pertunannan (jak ba tanda) dan tahap pernikahan/pesta perkawinan. Bagi Mata Kamera sebenarnya setiap tahapan tersebut beserta pernak-perniknya merupakan obyek foto yang menarik, namun sayang sekali Mata Kamera tidak bisa mengikuti acara tersebut secara lengkap, hanya tahap pernikahan dan pesta pelaminan yang bisa terekam.







Ada keberuntungan lain bagi Mata Kamera karena kebetulan di belakang hotel kami menginap ada acara Festival Krueng Aceh yang menarik  karena ada pementasan seni budaya, lomba-lomba dan atraksi dari TNI. Meskipun hanya sedikit waktu Mata Kamera bisa mengikuti acara tersebut (karena harus segera ke tempat pesta perkawinan) namun cukup menambah koleksi foto tentang seni budaya Aceh.

Berikut ini beberapa moment lain yang sempat dibidik oleh Mata Kamera :
Tari Ranup Lampuan

Tari Ranup Lampuan

Tari Ranup Lampuan

Tari Likok Pulo




Barongsai
Atraksi Pembebasan Sandera





Perjalanan ke Sabang

Sempat melakukan perjalanan sampai ke kota Sabang di Pulau Weh mungkin ini hanya bonus saja karena rencana kami hanya sampai di Banda Aceh saja, meskipun kami sangat berkeinginan untuk membidik pantai-pantai di Pulau Weh yang terkenal keindahannya. Perjalanan kami ke Sabang adalah berdasarkan rencana mendadak yaitu ketika di tempat pesta perkawinan bertemu dengan adik sepupu yang tinggal di kota Sabang mengajak kami ke rumahnya di Kota Sabang, karena kami punya keinginan pergi ke Sabang maka tanpa diskusi panjang kami sambut dengan senang hati ajakan tesebut. Karena mepetnya waktu dengan jadwal keberangkatan kapal cepat yaitu pukul 15.30 maka kamipun bergegas pulang dari tempat pesta yang memang segera usai, langsung ke hotel untuk melakukan persiapan ke Sabang.

Perjalanan menyeberang dari Banda Aceh ke Sabang melalui pelabuhan Ulee Lheue yaitu dengan menumpang kapal cepat yang waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Alhamduliillah saat perjalanan ombak laut cukup bersahabat sehingga selama perjalanan tidak ada kecemasan dan kekhawatiran.

Setelah tiba di pelabuhan Balohan Sabang kami melaksanakan sholat ashar dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kota Sabang naik mobil adik sepupu yang disimpan di tempat parkir pelabuhan. Sudah menjadi hal yang lumrah kalau orang Sabang pergi ke Banda Aceh mobilnya di simpan di parkir pelabuhan bahkan kadang sampai ber hari-hari. 

Pelabuhan Sabang

Pantai Sumur Tiga

Pantai Sumur Tiga

Pantai Sumur Tiga

Teluk Sabang

Teluk Sabang

Pantai Gapang

Pantai Gapang

Pantai Gapang

Pantai Sumur Tiga

Masjid Raya Sabang

Pantai Sumur Tiga

Pantai Sumur Tiga

Resto & Resort Pantai Sumur Tiga

Pelabuhan Balohan Sabang

Pantai Gapang

Perjalanan ke Pulau Weh ini memang tidak direncanakan dengan baik, sehingga tidak bisa memanfaatkan waktu dengan optimal untuk hunting foto. Hanya sedikit lokasi yang bisa dikunjungi, padahal di Pulau Weh ini surganya landscaper banyak pantai-pantai yang indah seharusnya dikunjungi. Tapi tidak mengapa kunjungan kali ini memang tidak special untuk motret tapi dalam rangka silaturrahim dengan keluarga dan ternyata silaturrahim itu juga tidak kalah indah dengan fotografi tapi akan lebih indah bila silaturrahim itu disertai dengan potret potret.


Sisi Lain

Berjalan menyusuri jalan raya dan trotoar apalagi ke masuk ke pasar (orang Aceh menyebutnya Pajak) di Banda Aceh pasti menemui obyek foto yang menarik. Apalagi mau masuk dan duduk sejenak di kedai kopi sambil menikmati segelas kupi aceh yang mantap rasa dan aromanya pasti akan mendapatkan tangkapan yang menarik.

Berikut ini hasil tangkapan Mata Kamera tentang aktivitas warga di jalan, di sungai, di pajak dan di warung ...


















Saatnya kembali ke Bandung
Setelah sekian hari “berkelana” di Tanah Rencong, maka saatnya Mata Kamera harus balik ke Bandung. Perlu kami catat dalam perjalanan ini tentang dua orang sahabatku yaitu Irwan Rahman yang telah mengantar kami ke Pantai Lhokmee dan  Yadi Slamet Riyadi yang telah meminjamkan mobilnya untuk kami pergunakan selama kami di Aceh dan mengantarku ke Bandara Sultan Iskandarmuda, hanya doa yang dapat kami panjatkan kepada sahabatku sekeluarga agar senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan diberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami...



Wassalamualaikum... ila liqo'

Narasi & Foto oleh Nuryahya Tingkir