Masjid Baiturrahman Banda Aceh |
Banda Aceh... kota di ujung barat pulau Sumatera tepatnya
di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal dengan julukan Serambi Mekah dan Tanah
Rencong memiliki bahasa. budaya dan adat istiadat yang unik serta memiliki alam
yang indah terutama pantai yang menawan, sangat menarik bagi Mata Kamera untuk merekam keunikan dan
keindahan alam Tanah Rencong.
Perjalanan ke Banda Aceh mudah ditempuh dari berbagai kota karena Banda
Aceh memiliki Bandara Internasional yaitu Bandara Sultan Iskandarmuda.. Rute
penerbangan dari Bandung dan Jakarta (transit Bandara Kualanamu Medan) dilayani
oleh beberapa maskapai penerbangan. Transportasi darat dari Medan ke Banda Aceh
juga tersedia yang dilayani oleh bus maupun mobil travel. Kemudahan sarana
transportasi ini seharusnya mampu mendongkrak angka kunjungan wisata ke Banda
Aceh.
Kesan pertama saat tiba di Bandara Sultan Iskandarmuda dan perjalanan dari
bandara menuju kota Banda Aceh adalah kota Banda Aceh memiliki pertumbuhan
dalam pembangunan sarana kota seperti jalan dan jembatan yang semakin baik
terutama pembangunan setelah terjadinya peristiwa Tsunami 26 Desember 2004 yang
memporakporandakan kota Banda Aceh dan sekitarnya. Kini.. jalan-jalan dan
jembatan sudah dibangun kembali bahkan lebih lebar dan lebih bagus dibandingkan sebelum terjadi tsunami,
gedung-gedung baru dan taman juga banyak dibangun, pusat-pusat perbelanjaan
juga banyak berdiri.
Alhamdulillah, peristiwa tsunami dan recovery infrastruktur Aceh tidak
merusakkan ciri khas Aceh baik bangunan-bangunan bernilai sejarah, keindahan
alam maupun adat istiadat dan budayanya. Masih bisa kami lihat Masjid Raya
Baiturrahman yang begitu megah, Masjid Baiturrahim yang tetap berdiri kokoh
meskipun terkena hantaman Tsunami (padahal jaraknya hanya beberapa meter dari
Pantai Uleelheue... subhanallah), Gunungan, pertokoan lama, dan masih banyak
bangunan lain yang masih berdiri megah. Masih dapat kami lihat banyaknya warung
kopi, penjual bu guri, penjual bu si itik, penjual bu goreng, penjual mie
goreng dan penjual makanan yang lain. Masih dapat kami lihat juga pemandangan
alam pantai yang indah. Masih dapat juga kami lihat budaya seperti tarian aceh.
Masih dapat juga kami lihat adat istiadat aceh pada saat acara perkawinan.
Jum’at 6 November 2014 adalah hari pertama kami mengajak Mata Kamera
jalan-jalan untuk menangkap keindahan dan keunikan kota Banda Aceh. Berjalan
kaki dari hotel Medan menuju Peunayong, disitu terdapat pasar tradisional dan
jembatan Krueng Aceh. Dari atas jembatan Krueng Aceh Mata Kamera mulai beraksi
menangkap keindahan sungai (krueng) dimana banyak kapal-kapal nelayan
bersandar. Warna-warni dan deretan kapal nelayan dengan latar belakang Masjid
menjadi obyek yang sangat menarik.
Jembatan Peunayong |
Pemandangan Krueng Aceh |
Pemandangan Krueng Aceh |
Pemandangan Krueng Aceh |
Setelah puas memotret dari atas jembatan, perjalanan dilanjutkan dengan
menyusuri bantaran Krueng Aceh, kali ini terlihat gedung Bank Indonesia yang
megah pantas untuk menjadi bidikan Mata Kamera. Ada peristiwa yang mengagetkan
saat persiapan hendak motret gedung Bank Indonesia yaitu sempat terasa adanya
gempa beberapa kali, bagi kami cukup mengagetkan tapi bagi warga Banda Aceh
saat itu sepertinya biasa saja karena mungkin mereka sering menghadapi
peristiwa seperti itu, memang di Bumi Serambi Mekah ini peristiwa gempa relatif
sering terjadi. Setelah memeotret gedung Bank Indonesia, kembali kami lanjutkan
perjalanan melalui bantaran sungai tetapi sekitar lima menit perjalanan ada
peristiwa lain yaitu turun hujan terpaksa kami berlari mencari tempat teduh.
Dari tempat berteduh sempat juga kami lihat pemandangan Krueng Aceh yang cukup
bagus.
Masjid Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman Banda Acceh |
Hujan reda perjalanan kami lanjutkan ke halaman Masjid Raya Baiturrahman
masjid kebanggaan masyarakat Aceh. Pada saat peristiwa Tsunami masjid ini
menjadi tempat perlindungan yang aman bagi warga Banda Aceh, karena meskipun di
halaman masjid terjadi banjir besar yang bisa menghanyutkan mobil-mobil tetapi
alhamdulillah Allah SWT memberikan perlindungan terhadap bangunan masjid ini
dan orang-orang yang berlindung di dalam masjid.... Allahu Akbar. Meskipun Mata Kamera belum puas memotret keindahan
Masjid Baiturrahman namun harus harus segera diakhiri karena perlu persiapan
untuk sholat jum’at.
Interior Masjid Raya Baiturrahman |
Sungguh suatu kebahagiaan bisa sholat jum’at di Masjid Baiturrahman, suhu
panas kota Banda Aceh tidak terasa ketika sudah masuk ke Masjid, Bangunan
masjid yang indah dan suara alunan adzan yang merdu menggetarkan qolbu yang selalu merindukan
sang Kholiq. Suara khotib yang tegas menyampaikan
khutbah yang mengambil tema “Islam di negara yang penduduknya minoritas muslim”
sangat menarik karena khotib mempunyai pengalaman tinggal cukup lama di benua
Australia yang penduduknya mayoritas non muslim.
Berikut ini beberapa bidikan Mata Kamera yang menangkap keindahan dan
kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada saat siang dan malam.
Menara Masjid Baiturrahman |
Pintu Gerbang Masjid Raya |
Lhokmee
Selain Masjid Raya Baiturrahman, lokasi kedua yang ingin kami kunjungi
adalah Lhokmee yaitu pantai yang belum pernah kami kunjungi meskipun beberapa
tahun pernah tinggal di Aceh. Alhamdulillah keinginan tersebut terkabul berkat
kebaikan sahabat lama yaitu pak Irwan Rahman yang sering kami panggil dengan
nama panggil Abu yang bersedia mengantarkan kami ke Lhokmee. Rupanya bagi Abu,
nama Lhokmee ternyata juga masih asing padahal Abu orang Aceh yang tinggal di
Aceh berpuluh puluh tahun, sehingga untuk ke Lhokmee harus pake jurus
“bertanya”.
Pantai Lhok Mee letaknya di Desa Lamreh Dusun LhokMee Kab Aceh Besar sekitar
35 km dari Banda Aceh yaitu setelah melewati
pelabuhan Malahayati. Dari Malahayati sekitar 5 km dengan kondisi jalan cukup bagus melewati jalan perbukitan
yang dikenal dengan nama BUKIT SUHARTO. Perjalanan dari Malahayati ke Pantai
Lhokmee hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit, jalanan menanjak dan
menurun dengan pemandangan indah di
sepanjang perjalanan.
Subhanallah.. begitu sampai di pantai Lhokmee kami lihat pemandangan pantai
yang berbeda dengan pantai-pantai lainnya, pasirnya putih dengan butiran
seperti kristal dan di pinggir pantai agak ke tengah terdapat pohon-pohon yang
sudah tua serta banyaknya tonggak akar-akar bakau. Agak disayangkan pada saat
kami datang air laut baru surut, kami hanya bisa bayangkan keindahan pantai
tersebut disaat air laut pasang tentu pemandangan akan lebih indah lagi karena
pohon-pohon tersebut berada di tengah laut.
Pantai Lhokmee ini sepertinya masih alami dan belum dikelola dengan baik,
hal ini terlihat pada saat masuk ke lokasi tidak ada loket pembayaran retribusi
yang ada hanya beberapa anak muda yang minta uang seikhlasnya, letak
warung-warung yang belum tertata, dan belum ada tempat parkir khusus.
Berikut ini beberapa gambaran keindahan pantai Lhokmee yang sempat
ditangkap oleh Mata Kamera :
Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokmee dan sebaliknya Mata Kamera
juga sempat membidik beberapa pemandangan indah karena perjalanan tersebut
melewati pantai Ujung Batee. Berikut ini beberapa foto bidikan Mata Kamera di
sepanjang perjalanan.
Pantai Ulee lheue
Pantai Ulee lheue ini adalah pantai yang berlokasi di Banda Aceh, hanya sekitar 5 km dari pusat kota
Banda Aceh. Kondisi pantai Ulee Lheue saat ini sangat jauh berbeda dengan
kondisi pada saat sebelum terjadi tsunami, terjadi pembangunan besar-besaran di
pantai ini karena bisa dimaklumi pantai Ulee Lheue termasuk yang mengalami
kerusakan parah pada saat terjadinya tsunami, bisa dibayangkan PLTD apung yang
sebelumnya terletak di pantai Ulee Lheue bisa terseret ke daratan kurang lebih
4 km dari pinggir pantai.
Sebelumnya kondisi pantai Ulee Lheue ini adalah pantai seperti kebanyakan
dengan pasir hitam yang biasa dipakai mandi dan berenang, namun kini pinggir
pantai sudah dibuat tanggul penahan ombak yang cukup tinggi dan panjang
sehingga untuk mandi dan berenang hanya di tempat tertentu saja. Pantai Ulee
Lheue kini juga menjadi pelabuhan penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang dan
sebaliknya. Ada dua jenis kapal penyeberangan yaitu kapal cepat dan kapal
ferry, kapal cepat hanya melayani penyebarangan khusus untuk penumpang (orang)
sedangkan bila membawa mobil bisa mempergunakan kapal ferry. Waktu tempuh kapal
cepat hanya sekitar 45 menit sedangkan untuk kapal ferry memerlukan waktu
sekitar lebih dari 2 jam.
Senja di pantai Ulee Lheue biasanya saat yang menarik untuk nyantai,
menikmati indahnya sunset sambil makan jagung bakar. Meskipun hari itu cuaca kurang begitu cerah
namun matahari masih terlihat, oleh karena itu kami berangkat mengadu
keberuntungan ke Pantai Ulee Lheue mudah-mudahan saat matahari hendak terbenam
memberikan pemandangan yang menarik. Alhamdulillah pada saat kami tiba matahari
yang tadinya tertutup awan perlahan lahan terlihat meskipun tidak sempurna,
awan kuning merah sudah mulai terlihat memberikan harapan adanya keberuntungan.
Tidak mau ketinggalan moment maka dengan cepat pasang Mata Kamera untuk
membidik moment yang sudah mulai tampak. Hanya beberapa frame yang sempat Mata
Kamera bidik karena moment indah tersebut cepat berlalu karena matahari
tertutup awan di ufuk barat. Setelah matahari tertutup awan Mata Kamerapun
tetap mencari sasaran, ada kepiting unik yang sempat dibidik, kepiting tersebut
badan berwarna hitam namun kakinya berwarna merah.
Saat matahari tertutup awan saatnya pula Mata Kamera harus mengakhiri
tugasnya karena saat itu sudah ada warning dari kamera bahwa battery sudah
kritis dan suara Muadzin juga sudah terdengar... segera kami kemasi peralatan
dan kami tinggalkan lokasi. Dalam perjalanan menuju lokasi rupanya muncul
godaan sehingga kami harus berhenti sejenak karena melihat awan merah yang
memancar di lokasi sunset, tidak tahan godaan juga akhirnya kami turun dan
berlari mencari posisi yang bagus untuk membidik awan merah tersebut, terpaksa
dengan persediaan battery yang sudah kritis sempat terbidik beberapa frame. O
ya masih ada cadangan kamera saku yang selalu bermanfaat disaat kritis, maka
dengan kamera saku itu bisa diabadikan pemandangan indah itu walaupun dengan kualitas
seadanya.
Masjid Baiturrahim
Setelah melakukan pemotretan kami segera bergegas menuju masjid karena kami
berharap bisa sholat maghrib berjamaah di Masjid Baiturrahim yang fenomenal dan
penuh kenangan semasa kami bertugas di Aceh beberapa tahun yang lalu.
Alhamdulillah kami masih bisa ikut sholat berjamaah di masjid dengan para
jamaah yang lain. Selesai sholat maghrib Mata Kamera kami ajak untuk
mengabadikan keindahan dan kemegahan Masjid Baiturrahim meskipun hanya
menggunakan Kamera Saku.
Saat terjadi tsunami banyak yang kagum dengan Masjid Raya Baiturrahim
karena meskipun letaknya hanya beberapa meter dari pantai Ulee Lheue namun
masjid ini selamat dari terjangan tsunami padahal bangunan lain yang lebih kuat
dan letaknya lebih jauh dari garis pantai hancur luluh tidak berbekas termasuk
rumah keluarga kami... semakin yakin bahwa Allah SWT yang melindungi....
Subhanallah... Allahuakbar.
Berikut ini beberapa foto Masjid Baiturrahim yang dibidik Mata Kamera
sehabis sholat maghrib berjamaah. Sepertinya tidak ada yang berubah dengan
kondisi pada saat sebelum tsunami, hanya perbaikan-perbaikan yang tidak merubah
konstruksi utama yang dilakukan pasca tsunami.
Adat Istiadat & Budaya
Beruntung perjalanan Mata Kamera ke Banda Aceh kali ini selain cuaca yang
cukup bagus (pada hari-hari sebelumnya Banda Aceh sering diguyur hujan)
sehingga dapat leluasa pergi ke tempat-tempat menarik juga dapat menghadiri
acara pernikahan & pesta perkawinan dan Festival Krueng Aceh yang diadakan
setiap tahun.
Acara pernikahan di Banda Aceh sepertinya tidak jauh berbeda dengan acara
pernikahan di tempat lain karena pelaksanaannya mengikuti ketentuan pernikahan
secara islam. Namun yang membedakan adalah acara adat tradisional sebelum acara
pernikahan (akad nikah). Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum
pernikahan dilakukan yaitu tahap melamar (Ba Ranup) dan tahap pertunannan (jak
ba tanda) dan tahap pernikahan/pesta perkawinan. Bagi Mata Kamera sebenarnya
setiap tahapan tersebut beserta pernak-perniknya merupakan obyek foto yang
menarik, namun sayang sekali Mata Kamera tidak bisa mengikuti acara tersebut
secara lengkap, hanya tahap pernikahan dan pesta pelaminan yang bisa terekam.
Ada keberuntungan lain bagi Mata Kamera karena kebetulan di belakang hotel
kami menginap ada acara Festival Krueng Aceh yang menarik karena ada pementasan seni budaya,
lomba-lomba dan atraksi dari TNI. Meskipun hanya sedikit waktu Mata Kamera bisa
mengikuti acara tersebut (karena harus segera ke tempat pesta perkawinan) namun
cukup menambah koleksi foto tentang seni budaya Aceh.
Berikut ini beberapa moment lain yang sempat dibidik oleh Mata Kamera :
Tari Ranup Lampuan |
Tari Ranup Lampuan |
Tari Ranup Lampuan |
Tari Likok Pulo |
Barongsai |
Atraksi Pembebasan Sandera |
Perjalanan ke Sabang
Sempat melakukan perjalanan sampai ke kota Sabang di Pulau Weh mungkin ini
hanya bonus saja karena rencana kami hanya sampai di Banda Aceh saja, meskipun
kami sangat berkeinginan untuk membidik pantai-pantai di Pulau Weh yang
terkenal keindahannya. Perjalanan kami ke Sabang adalah berdasarkan rencana
mendadak yaitu ketika di tempat pesta perkawinan bertemu dengan adik sepupu
yang tinggal di kota Sabang mengajak kami ke rumahnya di Kota Sabang, karena
kami punya keinginan pergi ke Sabang maka tanpa diskusi panjang kami sambut
dengan senang hati ajakan tesebut. Karena mepetnya waktu dengan jadwal
keberangkatan kapal cepat yaitu pukul 15.30 maka kamipun bergegas pulang dari
tempat pesta yang memang segera usai, langsung ke hotel untuk melakukan
persiapan ke Sabang.
Perjalanan menyeberang dari Banda Aceh ke Sabang melalui pelabuhan Ulee
Lheue yaitu dengan menumpang kapal cepat yang waktu tempuhnya sekitar 45 menit.
Alhamduliillah saat perjalanan ombak laut cukup bersahabat sehingga selama
perjalanan tidak ada kecemasan dan kekhawatiran.
Setelah tiba di pelabuhan Balohan Sabang kami melaksanakan sholat ashar dan
selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kota Sabang naik mobil adik sepupu yang
disimpan di tempat parkir pelabuhan. Sudah menjadi hal yang lumrah kalau orang
Sabang pergi ke Banda Aceh mobilnya di simpan di parkir pelabuhan bahkan kadang
sampai ber hari-hari.
Pelabuhan Sabang |
Pantai Sumur Tiga |
Pantai Sumur Tiga |
Pantai Sumur Tiga |
Teluk Sabang |
Teluk Sabang |
Pantai Gapang |
Pantai Gapang |
Pantai Gapang |
Pantai Sumur Tiga |
Masjid Raya Sabang |
Pantai Sumur Tiga |
Pantai Sumur Tiga |
Resto & Resort Pantai Sumur Tiga |
Pelabuhan Balohan Sabang |
Pantai Gapang |
Perjalanan ke Pulau Weh ini memang tidak direncanakan dengan baik, sehingga
tidak bisa memanfaatkan waktu dengan optimal untuk hunting foto. Hanya sedikit
lokasi yang bisa dikunjungi, padahal di Pulau Weh ini surganya landscaper
banyak pantai-pantai yang indah seharusnya dikunjungi. Tapi tidak mengapa
kunjungan kali ini memang tidak special untuk motret tapi dalam rangka
silaturrahim dengan keluarga dan ternyata silaturrahim itu juga tidak kalah
indah dengan fotografi tapi akan lebih indah bila silaturrahim itu disertai
dengan potret potret.
Sisi Lain
Berjalan menyusuri jalan raya dan trotoar apalagi ke masuk ke pasar (orang
Aceh menyebutnya Pajak) di Banda Aceh pasti menemui obyek foto yang menarik.
Apalagi mau masuk dan duduk sejenak di kedai kopi sambil menikmati segelas kupi
aceh yang mantap rasa dan aromanya pasti akan mendapatkan tangkapan yang
menarik.
Berikut ini hasil tangkapan Mata Kamera tentang aktivitas warga di jalan,
di sungai, di pajak dan di warung ...
Saatnya kembali ke Bandung
Setelah sekian hari “berkelana” di Tanah Rencong, maka saatnya Mata Kamera
harus balik ke Bandung. Perlu kami catat dalam perjalanan ini tentang dua orang
sahabatku yaitu Irwan Rahman yang telah mengantar kami ke Pantai Lhokmee
dan Yadi Slamet Riyadi yang telah
meminjamkan mobilnya untuk kami pergunakan selama kami di Aceh dan mengantarku
ke Bandara Sultan Iskandarmuda, hanya doa yang dapat kami panjatkan kepada
sahabatku sekeluarga agar senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan diberikan
balasan yang lebih baik atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami...
Wassalamualaikum... ila liqo'
Narasi & Foto oleh Nuryahya Tingkir